Apindo: Daya Beli Melemah, Industri Manufaktur Tertekan 

CNN – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai industri manufaktur nasional sedang menghadapi tekanan berat. Penyebab utamanya adalah melemahnya daya beli masyarakat, terutama pada kelompok menengah bawah.

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam menjelaskan pelemahan daya beli berdampak langsung pada permintaan produk manufaktur. Kondisi ini terasa menjelang 2026, ketika konsumsi kelompok menengah bawah menunjukkan penurunan nyata.

Pemerintah telah menyalurkan paket Stimulus Ekonomi 8+4+5, yaitu rangkaian bantuan fiskal yang ditujukan untuk menjaga konsumsi masyarakat. Bob mengatakan stimulus tersebut membantu konsumsi dasar, namun efeknya di sektor manufaktur baru terasa pada produk kebutuhan pokok.

Penyusutan kelas menengah menjadi tantangan tambahan. Sejak 2019 jumlah kelompok ini menyusut sekitar 9,5 juta orang. Penurunan tersebut dinilai mempersempit ruang konsumsi dan melemahkan pasar manufaktur.

Pemerintah memperluas stimulus pendapatan seperti program pemagangan untuk menambah penghasilan masyarakat. Apindo berharap langkah ini dapat memulihkan daya beli, terutama di kelompok menengah bawah dan menengah.

Di sisi lain, Bob menyoroti gejala industrialisasi prematur, yaitu kondisi ketika kontribusi sektor manufaktur turun sebelum negara mencapai pendapatan tinggi. Kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto atau PDB berada di kisaran 17,39 persen, meski pertumbuhannya masih sedikit di atas pertumbuhan ekonomi nasional yang sekitar 5,38 persen.

Menurut Bob, pemerintah perlu memperkuat koordinasi untuk mendukung pemulihan sektor manufaktur. Harapan ini muncul karena pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 8 persen.

Bob juga menyinggung perkembangan Purchasing Managers Index atau PMI, yaitu indikator aktivitas industri yang menunjukkan ekspansi atau kontraksi. Ia menjelaskan PMI telah kembali ke zona ekspansif, tetapi pemulihannya belum cukup kuat untuk mendorong percepatan industri.

Selain melemahnya daya beli, industri tetap menghadapi biaya ekonomi tinggi. Hambatan utama berasal dari perizinan, regulasi, keterbatasan bahan baku, serta persaingan dari negara ASEAN 5 yang meliputi Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Vietnam.

Beban energi, bunga pinjaman, dan biaya logistik yang mencapai sekitar 23 persen dari PDB turut menekan sektor manufaktur. Inefisiensi birokrasi masih menjadi hambatan tambahan dalam menekan biaya produksi.

Suku bunga yang lebih kompetitif diperlukan agar industri mampu bersaing dengan negara tetangga. Bob menegaskan kualitas tenaga kerja harus terus ditingkatkan melalui sistem pengupahan berbasis produktivitas untuk memperkuat total factor productivity atau efisiensi gabungan seluruh faktor produksi. (*)